Akademisi Unigoro Soroti Tajam Keracunan MBG Massal di BojonegoroRektor: Wali Murid Bisa Tuntut SPPG
Akademisi Unigoro Soroti Tajam Keracunan MBG Massal di Bojonegoro

Keterangan Gambar : Jajaran senat Unigoro turut angkat bicara terkait peristiwa keracunan massal MBG di Kecamatan Kedungadem.


BOJONEGORO – Peristiwa keracunan massal program makan bergizi gratis (MBG) di tiga lembaga sekolah Kecamatan Kedungadem mendapat sorotan tajam dari akademisi-akademisi Universitas Bojonegoro (Unigoro). Mereka sepakat insiden keracunan pada 1 dan 2 Oktober 2025 dengan korban sebanyak 599 siswa menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam implementasi program pemerintah pusat tersebut.


Rektor Unigoro, Dr. Tri Astuti Handayani, SH., MM., M.Hum., memaparkan, orang tua para korban dapat melaporkan peristiwa keracunan massal ini kepada pihak kepolisian karena termasuk tindak pidana. Selain itu, wali murid juga bisa mengajukan gugatan perdata terhadap satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh anak mereka. “Unsur tindak pidananya adalah jika terbukti bahwa keracunan tersebut disebabkan oleh kelalaian SPPG. Sedangkan dari segi perdata, orang tua dapat menuntut pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan Ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh para siswa. Seperti menanggung biaya pengobatan, memulihkan rasa trauma, dan sebagainya. Intinya jika diusut secara pidana maupun perdata harus ada bukti-bukti yang cukup. Seperti bukti kondisi makanan saat diterima pembelian, laporan tenaga medis, dan keterangan saksi untuk bukti tuntutan agar bisa diklaim,” paparnya.


MBG yang menjadi program prioritas nasional di era Presiden Prabowo Subianto juga memiliki  dampak ganda dari sisi ekonomi. Yakni sebagai investasi jangka panjang dalam pengembangan SDM dan sebagai stimulus jangka pendek bagi perekonomian lokal dan nasional. Menurut Dekan Fakultas Ekonomi Unigoro, Endang, SE., MM., Insiden keracunan massal MBG yang terjadi di Kedungadem memiliki implikasi ekonomi serius yang berlawanan dengan tujuan utama program. Terutama indikasi adanya kegagalan sistemik dalam implementasi MBG yang dapat menimbulkan biaya ekonomi dan risiko fiskal baru. “Jadi secara langsung mengubah investasi gizi menjadi beban pengeluaran mendadak. Khususnya ada peningkatan biaya kesehatan publik untuk mengobati ratusan korban keracunan. Ini berpotensi menyerap anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk program preventif atau lainnya,” terangnya.


Sementara itu Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unigoro, Dr. Ahmad Taufiq, S.Hi., M.Si., berpendapat, Pemkab Bojonegoro mempunyai kewajiban mengawal dan memastikan kualitas program MBG sesuai dengan tujuan awalnya. Di antaranya melakukan monitoring dan evaluasi (monev) secara berkala, pengawasan berbasis kolaboratif dengan masyarakat sipil, serta pembinaan dan pemberian sanksi terhadap SPPG jika ditemukan kelalaian. “Monev bisa dilakukan dengan melibatkan tim OPD terkait dan bukan hanya mengsupervisi kandungan gizi menu MBG. Namun juga memastikan apakah MBG diterima dengan tepat sasaran. Pengawasan harus dilakukan secara bersama-sama dengan kalangan perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, dan lainnya. Agar semua pihak memastikan kasus keracunan massal MBG tidak terulang,” jelasnya.


SPPG setiap hari dituntut untuk menyediakan makanan dalam jumlah yang banyak. Ada risiko kontaminasi bakteri berbahaya saat proses pengolahan bahan hingga distribusi makanan ke berbagai lembaga sekolah. Menurut dosen ilmu lingkungan Unigoro, Dr. Laily Agustina R., S.Si., M.Si., Dari aspek lingkungan, penyebab keracunan MBG bisa terjadi karena kondisi sanitasi lingkungan yang tidak higienis. Alhasil menyebabkan makanan terkontaminasi bakteri seperti Escherichia coli, Salmonella, dan Staphylococcus aureus yang mencemari makanan di berbagai titik rantai pasok. “Mulai dari bahan baku, proses pengolahan yang tidak higienis, penyimpanan yang salah, hingga distribusi dan penyajian yang tidak menjaga suhu dan kebersihan. Saat menutup makanan yang masih panas, otomatis suhu makanan di wadah turun secara perlahan dalam waktu yang lama. Padahal di suhu antara empat hingga 60 derajat celcius sangat ideal bagi perkembangbiakan bakteri patogen beracun menyebabkan terjadinya keracunan dalam kasus MBG,” ungkapnya.

Terakhir dosen psikologi Unigoro, Rio Candra Pratama, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menyebut ada dampak psikologis yang dirasakan siswa maupun orang tuanya. Di antaranya rasa cemas dan khawatir berlebihan, kehilangan kepercayaan pada sekolah atau pemerintah, reaksi emosional negatif, dan kewaspadaan yang berlebihan. “Pemerintah harus merestorasi kepercayaan masyarakat dengan cara SPPG harus mengakui bahwa ada kesalahan manajemen MBG. Ke depan harus berkomitmen untuk memperbaikinya dengan cara-cara yang bisa diukur dan diamati oleh masyarakat,” tukasnya. (din)



Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)